KUALITAS PROFESI GURU DENGAN SERTIFIKASI DAN PENINGKATAN
MUTU PENDIDIKAN
OLEH : OYOK
CITRA KUSUMA
Pasca Sarjana Untirta Serang Banten 2014
KUALITAS PROFESI GURU DENGAN SERTIFIKASI DAN PENINGKATAN
MUTU PENDIDIKAN
OLEH : OYOK
CITRA KUSUMA
(7772130053)
TOPIK MAKALAH
: GURU DAN MUTU PENDIDIKAN
BAB I
Pendahuluan
Pembangunan pendidikan jangka panjang telah
menunjukkan adanya kemajuan serta hasil yang cukup menggembirakan, namun secara
ideal masih perlu perlakuan untuk pengembangannya.
Kondisi ini antara lain disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan
anggaran pemerintah.
Dunia pendidikan sedang diguncang oleh berbagai perubahan
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat (E. Mulyasa, 2007: 3), serta
ditantang untuk dapat menjawab berbagai permasalahan lokal dan perubahan global
yang terjadi begitu pesat. Perubahan dan permasalahan tersebut menurut Prof.
Sanusi mencakup
social
change, turbulence, complexity, dan chaos, seperti pasar bebas (free trade), tenaga
kerja bebas (free labour), perkembangan masyarakat informasi, serta perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya yang sangat dahsyat.
Usaha
peningkatan mutu pendidikan selalu dan terus diusahakan oleh pemerintah dengan
berbagai cara dan ragamnya, mulai dari cara yang sifatnya local oleh sekolah
yang bersangkutan, Dinas Pendidikan setempat akan tetapi juga oleh pemerintah
pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional. Usaha ini dilakukan memang
dalam beberapa hal mutu pendidikan di Indonesia terus mengalami kemerosotan
baik dari segi mutu siswanya maupun mutu gurunya.
Karena keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat
mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang bermutu, hampir semua bangsa
di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang
bermutu. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak
negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan
memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa negara
yang mengembangkan kebijakan ini bisa
disebut antara lain Singapore, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat.
Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu
guru
dengan mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu dengan
melaksanakan sertifikasi guru. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi
untuk mendapatkan sertifikat profesi guru (Fasli Jalal, 2007: 1).
Ketika
guru member perhatian terhadap tugas-tugas pengarahan, dan agar ia menjadi
tugas-tugas yang terprogram secara rapi, maka dia akan meletakan tujuan-tujuan
tertentu untuk dirinya. Ini berarti :
Pertama ,
jerih payahnya membuahkan hasil
Kedua, hal ini menuntut
adanya pemikiran yang teenang sebelum proses pengarahan dan pembelajaran
dilakukan.
Ketiga, pengarahan seperti
ini berpijak kepada pertimbangan dan pemikiran terhadap banyak factor yang
memiliki peran penting untuk menentukan metode dan isi yang disampaikan.
Keempat,
ketika guru mengikuti cara pengarrahan seperti ini, maka dia bias mengevaluasi
usahanya dan mengukur pekerjaannya.
Kelima, ketika guru
mengikuti metode ini, maka dia akan berusaha mencapai tujuannyamelalui berbagai
cara dan bermacam-macam jalan.
DR.
M.Abdullah Ad-Duweisy.Menjadi Guru yang
Sukses dan Berpengaruh, 2008.Hal.181)
Setelah semua keterangan ini, jelas bagi kita bahwa
ketika guru meletakkan tujuan yang jelas, maka dia mampu merealisasikan
keberhasilan yang lebih besar dan meninggalkan bekas yang lebih mendalam.
Peningkatan
mutu pendidikan dibutuhkannya sebuah pembaharuan pendidikan itu sendiri yakni
tercapainya suatu system pendidikan :
1. Mampu
melayani kebutuhan masyarakat sedang berkembang akan pendidikan dalam arti
kuantitatif serta menjamin lahirnya para lulusan yang secara kualitatif
memenuhi harapan masyarakat banyak (efektivitas dan Produktivitas)
2. Menyelenggarakan
pendidikan yang dilihat dari segi program kurikuler serta materi dan jenis
pengalaman belajar yang mengisinya, selaras dengan dunia pekerjaan yang akan
dimasuki oleh para lulusan
3. Mendayagunakan
tenaga, dana, fasilitas, dan teknologi yang tersedia secara optimal bagi
tercapainya tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan (efisiensi).
(Oteng Sutisna, administrasi Pendidikan.
Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional. 1989.Hal.4)
Dimensi-dimensi
mutu pendidikan pada hakekatnya merupakan penjaminan agar sekolah bisa
mengantarkan peserta didik mencapai kompetensi-kompetensi yang terkait dengan
moralitas, akademik, vokasional, dan social pribadi.( Ilmu dan Aplikasi Pendidikan” Ilmu Pendidikan Praktis.2007.Hal.361)
I.
Kualitas
atau Mutu Pendidikan Indonesia
Kualitas atau mutu pendidikan di Indonesia dianggap oleh
banyak kalangan masih rendah (Kunandar, 2007: 1). Hal ini bisa dilihat dari beberapa
indikator. Pertama, lulusan dari sekolah atau perguruan tinggi yang belum siap
mem asuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Menurut Dr.
Berry Priyono, bekal kecakapan yang diperoleh dari lembaga pendidikan tidak
memadai untuk dipergunakan secara mandiri, karena yang diperoleh di lembaga
pendidikan sering kali terpaku pada teori, sehingga peserta didik yang kurang
inovatif dan kreatif (Kompas, 4 Desember 2004). Kedua, peringkat Human
Development Index (HDI) Indonesia yang masih rendah (tahun 2004 peringkat 111
dari 117 negara dan tahun
2005
peringkat 110 dibawah Vietnam dengan peringkat 108). Ketiga, laporan International
Educational Achievement (IEA) bahwa kemampuan membaca sisiwa SD Indonesia
berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvei. Keempat, mutu akademik antar
bangsa melalui Programme for International Student Assessment (PISA) 2003
menunjukkan bahwa 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA, Indonesia menempati
peringkat ke -38, sementara untuk bidang matematika dan kemampuan membaca
menempati pringkat ke-39. Jika dibandingkan dengan Korea Selatan, peringkatnya
sangat jauh, untuk bidang IPA menempati peringkat ke-8, membaca peringkat ke-7
dan matematika peringkat ke-3. Kelima, laporan World Competitiveness Yearbook
tahun 2000, daya saing SDM Indonesia berada pada posisi 46 dari 47 negara yang
disurvei. Keenam, posisi Perguruan Tinggi Indonesia yang dianggap favorit,
seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada hanya berada pada
posisi ke-61 dan 68 dari 77 perguruan tinggi di Asia (Asiaweek, 2000). Ketujuh,
ketertinggalan bangsa Indonesia dalam Iptek dibandingkan dengan negara-negara
tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Indikator rendahnya
kualitas pendidikan di Indonesia juga diperparah oleh adanya laporan Media
Indonesia 22 Desember 2005 yang mengatakan bahwa di dalam data Kementerian
Pemuda dan Olahraga yang menyatakan bahwa sebanyak 37,06% pemuda Indonesia
hanya lulus Sekolah Dasar (SD). Dari 217 juta penduduk Indonesia jumlah pemuda
(umur 15-35 tahun) diperkirakan ada 97 juta orang.
Selanjutnya melengkapi rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia adalah dengan maraknya jual beli gelar yang menghasilkan gelar dan
ijazah palsu. Yang lebih eronis lagi penjual dan pembeli gelar palsu dilakukan
oleh orang-orang yang berkecimpung dalam bidang pendidikan dan orang-orang yang
selama ini dianggap
sebagai
tokoh masyarakat (Kunandar, 2007: 2).
Sedang menurut Zuhal (2005: 3), indikasi lain
ketertinggalan Indonesia dalam
hal
pendidikan, dapat pula diukur berdasarkan kriteria ”Teknology Achievement Index”,
yang membagi negera-negara di dunia menjadi empat kelompok, yaitu :
pertama
kelompok Technology Inovator Countries, yang beranggotakan 18 negara
(AS,
Jepang, dan negara-negara Eropa Barat), kedua, kelompok Technology Implementor
Countries, yang mencakup negara yang bisa memproduksi barang atau
inovasi
meskipun baru bisa (Malaysia), sedang Indonesia masuk kelompok yang ketiga
yakni kelompok Technology Adaptor Countries, merupakan kelompok negara yang
baru bisa mengadopsi belum ke implementasi luas, dan ironisnya berada pada
peringkat ke 60 dari 63 negara dalam kelompok ini, dan keempat kelompok
Maginalized Countries.
II.
Belum semua masyarakat, khususnya
orang tua pada sekolah menyadari bahwa untuk terlibat secara aktif dalam
pembangunan pendidikan.
Bentuk
partisipasi masyarakat dalam pendidikan:
1.
Kesiapan SDM secara professional.
2.
Stakeholder mendukung program sekolah.
3.
Menghadiri pertemuan sekolah untuk mengetahui perkembangan siswa.
4.
Membentu murid belajar.
5.
Mencari sumber lain/pendukung untuk memecahkan masalah
pendidikan.
BAB II
A.
Sertifikasi
dan Kompetensi Guru
Landasan utama yang menjadi acuan program sertifikasi dan
kompetensi guru
adalah
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada
pasal 42 ayat 1 yang mengatakan bahwa ”Pendidik harus memiliki kualifikasi
minimum dan sertifikat sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, sedang pasal 43 ayat 2 mengatakan bahwa : ”sertifikasi pendidik
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga
kependidikan yang terakreditasi.
Selanjutnya pada tataran aplikatifnya juga diatur dalam
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 8; ”guru
wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
Nasional”, pasal 9 ”kualifikasi akademik dimaksud dalam pasal 8 diperoleh
melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat”, pasal 10
ayat 1 ”kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”, dan pasal 11 ayat 1 ”
Sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah
memenuhi persyaratan”(Dirjen Pendis, 2007: 62-63). Hal ini juga disebut pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan pada pasal 28 ayat 1 ” Pendidik harus memiliki kualifikasi
akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani,
serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dan pasal
28 ayat 3 ”kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi :
a.
kompetensi pedagogik
b.
kompetensi kepribadian
c.
kompetensi profesional
d.
kompetensi sosial,
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indoensia (WJS Poerwodarminto) kompetensi berarti
(kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal. Pengertian
dasar kompetensi (competency) yakni kemampuan atau kecakapan. Sedang kompetensi
guru (teacher competency) adalah the ability of a teacher responsibibly perform
has or her duties appropriately (M, Uzer Usman, 2008: 14). Sedang, pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan pasal 29 ayat 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 dikatakan bahwa setiap
pendidik harus memiliki sertifikat profesi guru sesuai dengan jenjang
pendidikan yang diperlukan seperti guru SD/MI harus
mempunyai sertifikat profesi guru SD, guru SMP harus mempunyai sertifikat
profesi guru SMP/MTs dan seterusnya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dikemukakan bahwa sertifikasi
adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sedangkan
sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada
guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Berdasarkan pengertian tersebut,
sertifikasi guru dapat diartikan sebagai
suatu
proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk
melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah
lulus
uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi. Dengan kata lain,
sertifikasi
guru adalah proses uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan
penguasaan
kompetensi seseorang guru sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik
(E.Mulyasa, 2007: 33-34).
Untuk meningkatkan kualitas guru, perlu suatu system
pengujian terhadap kompetensi guru. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah,
beberapa daerah telah melakukan uji kompetensi guru (E.Mulyasa, 2008: 187).
Selanjutnya, uji kompetensi guru baik secara teoritis maupun secara praktis
memiliki manfaat yang sangat penting, terutama dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan melalui peningkatan mutu guru.
B.
Profesionalisme
Guru
Istilah profesional sudah melekat sejak lama setelah
orang menyadari bahwa pekerjaan khusus yang selalu berdampak baik positif
maupun negatif harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Guru dengan perangkat
didiknya harus menyadari bahwa keprofesionalannya itu harus dibayar mahal
sehingga harus cerdas dan selalu responsif dalam menanggapi dan menyikapi
segala permasalahan yang berhubungan dengan profesinya (Isjoni, 2008: 39).
Profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa
setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang yang
profesional ialah orang yang
memiliki
profesi (A.Tafsir, 2008: 107). Profesionalisme adalah aspek penting lainnya
dalam menentukan mutu pendidikan. Profesionalisme sekolah/madrasah terletak
pada: 1) kepala sekolah sebagai personil yang memiliki posisi strategis dalam
meningkatkan kualitas sekolah/madrasah. Oleh karena itu penunjukan kepala
sekolah/madrasah harus melalui seleksi yang ketat, selain itu profesional diartikan
juga sesuatu yang memberikan keuntungan dalam bidang materi, tanpa harus
mengorbankan semangat ikhlas beramal dan jiwa pengabdian. 2) guru sebagai
penanggung jawab utama perlu diperhatikan yang sungguh-sungguh, karena disadari
penentu keberhasilan suatu pelaksanaan pendidikan khususnya dalam proses
pembelajaran lebih banyak bertumpu pada manajemen guru. Sehingga berbagai aspek
yang berkaitan dengan guru perlu diperhatikan, baik aspek rekrutmen, hendaknya
dapat memilih guru yang interdisipliner dengan latar belakang ilmu yang sesuai
dengan bidang studi yang diajarkan. Sehingga diharapkan tidak ada lagi guru
yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Profesionalisme
mutlak diperlukan pula diwujudkan dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar,
kurikulum,
dan pelaksanaan pendidikan Islam itu sendiri (Azyumardi azra, 2000:
60).
Menurut Muchtar Luthfi (dalam A. Tafsir, 2008: 107)) dari
Universitas Riau (lihat Mimbar, 3, 1884: 44), seseorang yang disebut memiliki
profesi bila ia memenuhi kriteria berikut : 1). Profesi harus mengandung
keahlian, 2). Profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh
waktu, 3). Profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal, 4). Profesi
adalah untuk masyarakat bukan untuk diri sendiri, 5). Profesi harus dilengkapi
dengan kecakapan diagnosti k dan kompetensi aplikatif, 6) pemegang profesi
memiliki otonomi dalam melakukan tugas profesinya, 7) profesi mempunyai kode
etik, yang disebut kode etik profesi, dan 8) profesi harus mempunyai klien yang
jelas, yaitu orang yang membutuhkan layanan.
Menurut A. Tafsir (2008: 113) dalam agama Islam, setiap
pekerjaan harus dilakukan secara profesional, dalam arti harus dilakukan dengan
benar. Itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang ahli, begitulah Rasulullah
saw mengajarkan kepada kita dalam hadits yang artinya:
“Rasullullah Saw
bersabda, Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi. Ada
seorang sahabat bertanya, bagaimana maksud amanat disia-siakan? Nabi menjawab,
Jika Urusan diserahkan bukan kepada ahlinya maka tunggulah kehancuran itu.
(HR. Buchori).
Keterpurukan
pendidikan tidak terlepas dari rendahnya mental profesional guru yang ’mungkin
terpaksa’ menerjuni profesi ini akibat dan legalitas ijazah yang dimiliki
(Isjoni, 2008: 41).
C.
Peningkatan
Mutu Pendidikan
Salah satu usaha pemerintah dalam meningkatkan mutu
pendidikan diantaranya dengan peningkatan mutu pendidiknya. Usaha ini tentu
karena diawali
dengan
terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dengan terbitnya undang-undang ini
berarti menjadi tongggak awal usaha peningkatan mutu pendidikan di Indonesia
khususnya dimulai dari usaha memberikan sertifikasi kepada guru atau
pendidiknya. Selanjutnya adakah peningkatan mutu pendidikan secara signifikan
terhadap hasil dari sertifikasi itu?. Dalam hal ini Fasli Jalal (2007: 1),
Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK)
Departemen Pendidikan Nasional, menyampaikan dalam makalahnya sebagai berikut: Pertama
dan sekaligus yang utama, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk
mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan
di atas, perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi
adalah sarana untuk menuju kualitas. Sertifikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran
dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang
dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk
kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan
ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1
bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak
benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan
ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi,
tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat
menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana
disyaratkan dalam standar kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi
logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini
maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh
sertifikat
profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi
uji sertifikasi. Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu
kebijakan yang merentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan mendapatkan
berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan tantangan akan muncul
dari 3 sumber. Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga yang berhak melaksanakan
uji sertifikasi. Berbagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya
dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta akan
menuntut
untuk diberi hak menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi. Demikian
juga, akan muncul tuntutan dari berbagai LPTK negeri khususnya di daerah luar
jawa akan menuntut dengan alasan demi keseimbangan geografis. Tuntutan ini akan
mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada objektivitas kemampuan suatu
perguruan tinggi. Ketegaran dan konsistensi pemerintah juga diperlukan untuk
menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi pelaksana Undang-Undang yang
muncul dari kalangan guru sendiri. Mereka yang sudah senior atau mereka para
guru yang masih jauh dari pensyaratan akan menentang dan menuntut berbagai
kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut. Ketiga, tegas dan
tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan muncul berbagai
penyimpangan dari aturan main yang sudah ada. Adanya penyimpangan ini tidak
lepas dari adanya upaya berbagai fihak, khususnya guru untuk mendapatkan
sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan yang muncul dan harus
diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karenanya, begitu
ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas.
Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang dimaksud, atau
menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, dan lain sebagainya.
Keempat, laksanakan UU secara konsekuen.
Tuntutan dan tantangan juga akan muncul dari berbagai daerah yang secara
geografis memiliki tingkat pendidikan yang
relatif
tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan maka sebagian besar dari pendidik di daerah
ini tidak akan lolos sertifikasi. Pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi
merupakan
standar nasional yang harus dipatuhi. Toleransi bisa diberikan dalam pengertian
waktu transisi. Misalnya, untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk
daerah yang terpencil transisi 10 tahun. Tetapi standar tidak mengenal toleransi.
Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran yang memadai,
baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk pemberian tunjangan profesi.
D.
Peran serta masyarakat
Masyarakat
selaku pengguna jasa lembaga pendidikan memiliki kewajiban untuk mengembangkan
serta menjaga keberlangsungan penyelenggaraan proses pendidikan, pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga.
Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,
kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dna organisasi kemasyarakatan
dalam penyelenggaraan dan mutu pelayanan pendidikan. Selain itu masyarakat dapat
berperan serta sebagai sumber, pelaksana dan pengguna hasil.
Peran
serta masyarakat dapat berbentuk:
a.
Pendirian dan penyelenggaraan satuanpendidikan pada jalur pendidikan sekolah.
b.
Pengadaan dan pemberian bantuan tenafga kependidikan untuk membantu melaksanaan
pengajaran, bimbingan atau pelatihan peserta didik.
c.
Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu pelakanaan kegiatan
belajar mengajar, penelitian atau pengembangan.
d.
Pengadaan atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan, untuk
menunjang pendidikan nasional.
e.
Pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah, sumbangan,
pinjaman, beasiswa dan bentuk lainnya untuk melaksanakn kegiatan belajar
mengajar.
f.
Pengadaan dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan pendidikan untuk
melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
g.
Pemberian kesempatan untuk magang atau latihan kerja.
h.
Pemberian antuan bagi penyelenggaraan satuan pendidikan dan pengembangan
pendidikan nasional.
i.
Pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan
penyelenggaran pengembangan pendidikan.
j.
Pemberian bantuan dan kerjasama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.
k.
Keikutsertaan dalam program pendidikan dan penelitian yang diselenggarakan oleh
pemerintah di dalam dan di luar negeri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Masih diperlukan waktu untuk menjawab dan membuktikan
keberhasilan dan peningkatan mutu pendidikan melalui program sertifikasi dan
kompetensi guru yang untuk selanjutnya menjadikan guru yang profesional, namun
dalam hal ini kita harus
yakin
dengan sepenuh hati bahwa pemerintah telah berupaya maksimal untuk memperbaiki
mutu pendidikan di Indonesia.
Dengan dibarengi niat yang tulus oleh para guru dalam menjalankan
tugasnya sekaligus berdoa kepada Allah swt mudah-mudahan apa yang pemerintah
dan kita lakukan akan menuai hasil yang maksimal pada tahun-tahun mendatang,
sehingga apa yang kita lakukan tidak sia-sia dan sekaligus mendapat ridha-Nya.
Saran
Bagi sekolah partisipasi masyarakat dalam pembangunan
pendidikan adalah kenyataan objektif yang dalam pemahamannya ditentukan oleh
kondisi subjektif orang tua siswa. Dengan demikian partisipasi menuntut adanya
pemaaman yang sama atau objektivasi dari sekolah dan orang tua dalam tujuan
sekolah. Partisipasi masyarakat sebagai bagian yang penting bagi keberhasilan
sekolah dalam meningkatkan mutu, karena tujan murtu semakin sulit diperoleh
jika pemahaman dalam dunia intersubjektif (siswa, orang tua, guru) menunjukan
kesenjangan pengetahuan tentang mutu.
Daftar
Pustaka
Mulyasa, E. 2007. Standar
Kompetensi dan sertifikasi Guru. Bandung: PT. Rosdakarya.
Samba. S. 2007. Lebih Baik Tidak
Sekolah. Yogyakarta: LKiS
Soleh
Amin, Sertifikasi Guru: Upaya Penyejahteraan yang Perlu pembenahan dimuat
dalam Majalah Derap Guru, No 108 Th. IX, Januari 2009, hal 30).
Sutisna,
Oteng. Administrasi Pendidikan. Dasar
Teoritis untuk Praktek Profesional. 1989.Angkasa Bandung.
TPIP.
FIP-UPI “Ilmu dan Aplikasi Pendidikan”
Ilmu Pendidikan Praktis.2007. PT.Imtima
Ad-Duweisy,.Abdullah.”Menjadi Guru yang Sukses dan Berpengaruh”,
2008.elba.Surabaya.
Komentar
Posting Komentar